Minggu, 13 Maret 2011

DI BALIK LELAPNYA NENEK.

“ Laptop kah yang hilang?!” teriak papa.

Hatiku, yang sudah jatuh ke malleolus jadi keluar, kabur ke India sana. Aku mengangguk, sambil tetap terus celingukan ke tiap sisi rumah..Rasanya sudah ditaruh di kursi penumpang, tapi kenyataannya benar-benar ga ada..Saat menulis lagi kisah ini, hatiku rasanya kebas. Menangis tak bisa, tertawa apa lagi...Aku hanya bisa mengurut-ngurut dada ini kalau ingat bahwa aku sudah menghilangkan uang senilai Rp 3.800.000,00. Besar ya..Mama yang baru saja bangun, langsung terbelalak tak percaya. Aku mencoba menenangkan diri. Aku mengerti, situasi panikku tak akan memperbaiki keadaan. Panik justru akan menambah runyam masalah.Kutarik napas panjang dan kuputuskan untuk sholat.

Rasanya masih tak lepas dari ingatanku, mozaik-mozaik kejadian 27 Februari yang lalu. Aku memegang, dan dalam beberapa saat Allah berkehendak, aku jadi miskin. Betapa mudah Allah SWT memberikan jalan lain untukku. Segala upaya sudah aku coba. Aku membuat selebaran seadanya, menempelnya di kampus dan di beberapa toko komputer. Aku melapor ke pihak-pihak yang berwenang dan tiada henti terus berdoa..

“ Ya Allah, apabila laptop itu masih menjadi rezeki hamba, maka dekatkanlah.. Tapi, apabila bukan lagi menjadi rezeki hamba, maka hamba ikhlaskan...Berikanlah hamba-Mu ini kekuatan untuk menghadapi cobaan ini.”

Seorang yang bercita-cita penulis sepertiku, rasanya tak lengkap hari-harinya kalau tidak memegang laptop. Namun apa daya, keadaanku yang masih sehat wal’afiat ini masih sangat layak untuk disyukuri. Sibuk berkutat dengan ujian ditambah ketidakadaan laptop tak membuat otakku buntu untuk menulis. Bahkan sekarang, inspirasi datang silih berganti, mengantri untuk dituang dalam buaian kata sastra. Aku mengandalkan laptop mama untuk hobi yang tak bisa lagi dibendung ini. Walaupun diiringi dengan teriakan-teriakan waspada dan hati-hati, tanganku tetap lancar mengetuk keyboard laptop toshiba ini.

Meminta laptop baru??

Ah mimpi...

Tak ada opsi untuk membeli laptop baru saat ini. Walaupun tabungan ada, itu semua dipegang oleh mama. Pengeluaran uang tabungan harus melewati birokrasi yang cukup alot, bisa-bisa jadi adu argumen dengan mama. Aku pun tak bisa mengharapkan mama untuk dengan senang hati membelikan laptop baru. Baru aja menghilangkan uang 3 juta, mau minta 3 juta lagi..Ckckckck. Opsi ketiga: minta belikan papa. Waaaaaaaaaahhh, yang ini boro-boro...Papa itu bisa dikatakan orang paling pelit serumahan. Cukup 1 mobil yang pernah beliau sumbangkan. SPP? Hape? Laptop? Sangu? Boro-boro pernah ngasih. Jadilah tempatku disini, di kalangan pelajar tak berlaptop. Untuk bisa membeli laptop baru, mama menyuruhku mengajar les lagi, mencari penghasilan. Sebuah kenyataan pahit untuk bisa tetap mengajar di sela waktu yang sesempit ini. Boro-boro untuk ngajarin orang, aku saja masih harus banyak belajar dari teman-teman.

Tapi suatu pagi nampaknya akan mengubah nasib tersebut.

Nenekku, seorang mantan pedagang sukses seperti Siti Khadijah. Buku, uang saku, mobil, laptop, hape, semua barangku ada sumbangsih beliau di dalamnya. Aku bisa memegang barang-barang sebagus sekarang adalah hasil sumbangsih warisan beliau. Beliau tak pernah absen menyumbang lebih dari atau sama dengan 50%. Hilangnya laptopku, menjadi momok juga bagi beliau. Aku kira beliau adalah orang yang paling marah akan hal ini. Beliau selalu menanyakan : ‘Sudah ketemu apa belum’ atau ‘Dapatlah lah tong?’. Bila aku menggeleng, beliau akan melanjutkan tidurnya seakan tak terjadi apa-apa.

Subuh itu, sebelum aku berangkat ujian menu gizi kira-kira sekitar jam 4 pagi, beliau masuk ke kamarku, duduk di sebelahku dan berkata,

“ Sudah 2 minggu tong lah, kadada dapat jua lagi laptop kita tuh. Mun urang handak membulikakan, sudah dari semalam-semalam. Nini lihat, dasar bujur sudah hilang to’ barang nang itu tuh.”

Nenekku menarik napasnya. Aku melirik slide dr.Edyson “Hormon Pankreas”.

“ Jadi tong lah, pina ngalih mun mahasiswa tuh kada belaptop. Nini melihat haja kayapa papa ikam lawan bude ikam tuh dulu sakulah, banyak banar keperluannya. Zaman dahulu tuh, papa ikam tuh bemesin tik, tak tuk tak tuk saban malam. Jadi nini menyumbang neh, 2 juta, sagan kam manukar laptop. Tapi, kam jangan bepadah wan mama kalau kita bepandir nang kayak ini. Kam bediam haja, jangan meminta-minta laptop hanyar. Kena mun mama ada duit nambahin duit nini tuh, bisa aja mama meajaki kam menukar laptop hanyar....”---

Aku tersentak, air mataku merebah. Aku kira nenek cuek dengan permasalahan laptop ini. Tapi kenyataannya, beliau memikirkan dan beliau menimbang mencari keputusan yang tepat. 2 juta tentu bukan angka yang kecil untuk nenek setua nenekku. Beliau pun masih banyak keperluan untuk obat-obatan dan makan sehari-hari. Tapi nampaknya, kasih sayang terhadap cucu itu tak bisa dibendung lagi. Beliau peduli akan apa yang aku butuhkan..Beliau benar-benar nenek juara satu di seluruh dunia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar